Dikatakan bahwa policy process (proses kebijakan)
desentralisasi fiskal yang dilaksanakan di Indonesia masih dodominasi oleh
pusat. Hal ini tampak, mulai dari inisiatif gagasan, keterlibatan aktor dan
setting kebijakan.
Inisiatif gagasan dapat dijelaskan melalui ise-ide politik
yang dibangun berkecenderungan hanya untuk meredam kuatnya tuntutan daerah dan
penyebaran kekuasaan. Keterlibatan aktor dalam proses pembuatan kebijakan
desentralisasi fiskal didominasi elite pusat, yaitu elite birokrasi pemegang
otoritas perpajakan.
“Representasi daerah yang seharusnya menjadi bagian penting
dalam pengambilan keputusan tidak dilibatkan, karena daerah diposisikan sebagai
pihak yang dimintakan masukan dan hanya mendapatkan sosialisasi atas kebijakan
yang telah menjadi keputusan pusat,” ujar Drs. Edi Slamet Irianto, M.Si, Sabtu
(23/2) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Kasubdit Perencanaan Pemeriksaan pada Kantor Ditjen Pajak
menyampaikan hal itu, saat ujian terbuka program doktor UGM Bidang Ilmu
Administrasi Negara. Promovendus mempertahankan desertasi “Desentralisasi
Perpajakan Dalam Perspektif Demokratisasi di Indonesia” dengan bertindak selaku
promotor Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA dan ko-promotor Prof. Dr. Warsito Utomo
serta Prof. Dr. Mardiasmo.
Menurut Edi, dalam hal materi kebijakan, kuatnya kepentingan
pusat sangat menonjol bahkan dalam beberapa hal tampak sangat tegas, seperti
bagaimana pusat berkeinginan untuk mengemankan sumber-sumber penerimaan negara.
Akibatnya, menyebabkan kebijakan desentralisasi fiskal gagal memberikan
kewenangan pemajakan yang lebih besar kepada daerah.
Disamping paradigma elite pusat yang masih sentralis,
faktor-faktor lain yang berpengaruh adalah belum adanya kepercayaan terhadap
kemampuan daerah untuk mengelola kewenangan pemajakan yang lebih besar.
“Argumen ini diperkuat fakta, atas tingginya disparitas fiskal, masih besarnya
hutang luar negeri dan keyakinan pusat yang dapat menciptakan keadilan dan
pemerataan penerimaan antar daerah,” tutur Edi Irianto.
Rendahnya kewenangan pemajakan yang dimiliki daerah sebagai
keputusan kebijakan fiskal nasional dinilai dapat memicu perdebatan politik
antara pusat-daerah dibidang perpajakan. Perdebatan politik tersebut, dapat
berdampak pada disharmoninya relasi perpajakan pusat-daerah.
“Daerah akan terus berjuang untuk mendapatkan kewenangan
pemajakan yang dianggap memadai untuk melakukan mobilisasi dana masyarakat
menuju kemandirian keuangan daerah. Perlawanan politik yang akan dijadikan
strategi oleh daerah adalah dalam bentuk tidak didukungnya secara politik
terhadap putusan perpajakan yang telah menjadi keputusan pusat. Daerah juga
akan terus mengupayakan pencarian sumber-sumber penerimaan dari masyarakat di
daerahnya melalui penerbitan sejumlah peraturan-daerah, meskipun keputusan
tersebut dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pusat,” lanjut Kanwil VII DJP
Jawa Barat, 1989-1991 ini.
Dijelaskannya, terjadinya disharmoni relasi perpajakan
pusat-daerah (negara) dapat berpengaruh pada relasi negara-rakyat, terutama
semakin turunnya tingkat kepercayaan rakyat di bidang perpajakan. Hal ini
disebabkan, negara yang seharusnya memposisikan rakyat sebagai mitra politik
dalam pengambilan keputusan dibidang perpajakan, justru dimarjinalkan oleh
kepentingan negara yang selalu berorientasi pada pencapaian target penerimaan
pajak.
Pada situasi tersebut, negara dinilai gagal menyediakan
ruang bagi terciptanya mekanisme komunikasi politik antara negara-rakyat dan
antar rakyat itu sendiri di bidang perpajakan. Apabila hal ini terus berlangsung,
maka tidak menutup kemungkinan rakyat akan menilai tidak ada manfaat membayar
pajak.
“Pada gilirannya, rakyat akan mogok untuk membayar pajak.
Sehingga demokratisasi perpajakan yang menghendaki tersedianya ruang publik
yang memungkinkan munculnya partisipasi publik, mulai dari proses pembuatan
kebijakan perpajakan, pengelolaan pajak dan pengawasan penggunaan uang pajak
oleh negara, gagal dihadirkan akibat kondisi internal negara yang masih
diwarnai oleh perdebatan politik dalam memperjuangkan keberadaan kewenangan
perpajakan di masing-masing pemerintahan,” tandas Edi Irianto. (Humas UGM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar