Minggu, 31 Januari 2016

Edi Slamet Irianto: Kami Senantiasa Membina Perusahaan PMA Yang Merugi

Terkait banyaknya perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang merugi, namun terus beroperasi di Indonesia, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), DR. Edi Slamet Irianto, M.Si memberikan pandangannya. 
Wawancara berikut ini menggambarkan pandangan Edi Slamet Irianto mengenai kondisi PMA di Indonesia, fenomena PMA merugi, pembinaan dan penegakan hukum atas PMA yang merugi hingga tahun 2015 serta rencana ke depan DJP di tahun 2016.
Apa pendapat Bapak mengenai Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia?
Sebagai salah satu emerging economies, Indonesia sangat menarik dan menjadi tujuan masuknya Foreign Direct Investment (FDI). Di satu sisi, Indonesia memang membutuhkan FDI sebagai salah satu untuk sarana mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemacetan ekonomi.
Namun, di sisi lain, investor juga sangat membutuhkan peran Indonesia dalam melanggengkan/memperluas usahanya, seperti pangsa pasar yang besar, kemudahan akses bahan baku, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun lainnya, dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup.
Meningkatnya jumlah FDI yang masuk dan bertambahnya jumlah perusahaan PMA di Indonesia harus diakui banyak berkontribusi dalam perekonomian nasional.
Tugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah mengawal pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan dan menjamin terwujudnya kepastian hukum di dalamnya, serta meminta Wajib Pajak PMA menghormati perundang-undangan perpajakan Indonesia melalui pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Bagaimana Bapak menyikapi fenomena Wajib Pajak PMA rugi?
Ada fenomena menarik bahwa terdapat Wajib Pajak PMA yang melaporkan usahanya dalam SPT Tahunan-nya selalu rugi dalam beberapa tahun. Namun, pada saat yang sama Wajib Pajak selalu memperlihatkan adanya pertumbuhan usaha bahkan melakukan ekspansi usaha.
Kondisi ini tentu harus disikapi melalui pemeriksaan mendalam, apakah situasi Wajib Pajak tersebut menggambarkan keadaan objektifnya atau malah sebagai gambaran Wajib Pajak melakukan perencanaan perpajakan agresif.
Oleh karena itu, kami akan terus berupaya untuk melakukan pembinaan dan penegakan hukum sampai tercipta satu kondisi di mana seluruh Wajib Pajak dengan sukarela melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan baik.
Upaya apa yang sudah dilakukan DJP terkait pembinaan dan penegakan hukum atas PMA yang senantiasa mengalami kerugian?
DJP sangat intensif melaksanakan pemeriksaan transfer pricing terutama atas Wajib Pajak PMA Rugi. Sebagai gambaran di tahun 2011, telah dilakukan pemeriksaan transfer pricing terhadap 60 Wajib Pajak; di tahun 2012 jumlah pemeriksaan transfer pricing meningkat menjadi 100 Wajib Pajak.
Selanjutnya di 2013, terdapat 170 Wajib Pajak yang diperiksa transfer pricing. Pada tahun 2014, pemeriksaan transfer pricing dilakukan terhadap 223 Wajib Pajak. Dari hasil pemeriksaan tahun 2011-2014, total koreksi transaksi afiliasi mencapai Rp 21,9 triliun di mana sebagian besar berasal dari Wajib Pajak PMA rugi.
Apa yang dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan untuk tahun 2015 ini?
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan sudah melakukan risk assessment terhadap perusahaan atau Wajib Pajak terkait. Untuk pemeriksaan transaksi perusahaan grup, sudah dipetakan 129 Wajib Pajak risiko tinggi yang menjadi sasaran pembinaan tahun 2015; Untuk Pemeriksaan Wajib Pajak Tambang dan Migas, terdapat 384 Wajib Pajak yang punya risiko tinggi; Untuk Pemeriksaan Wajib Pajak Transfer Pricing dan Transaksi Khusus Lainnya, DJP sudah memetakan 520 Wajib Pajak risiko tinggi yang menjadi target pembinaan tahun 2015.
Menurut Bapak apa yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak dalam kaitannya dengan rencana DJP di Tahun 2015 dan 2016?
Untuk mengatasi sengketa terkait transfer pricing di masa depan, DJP juga memberikan fasilitas bagi Wajib Pajak melalui kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement). Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement). Dengan ketentuan ini, antara DJP dan Wajib Pajak dapat menyepakati harga transfer yang sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak DJP, Edi Slamet Irianto menggarisbawahi pentingnya untuk senantiasa melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak PMA, khususnya terkait transaksi transfer pricing, karena #PajakMilikBersama.

Penunggak Pajak Besar di Riau Siap-siap Ditahan

TANJUNGPINANG-Mereka yang menunggak pajak di atas Rp 100 juta, siap-siap akan ditahan. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Riau dan Kepri memberlakukan sanksi penyanderaan atau gidzeling terhadap wajib pajak yang menunggak pembayaran pajak di atas Rp100 juta, jika tidak memiliki niat baik untuk melunasi.

"Ini merupakan upaya terakhir yang kami lakukan terhadap wajib pajak yang memiliki utang pajak di atas Rp100 juta," kata Kepala Kanwil Dirjen Pajak Riau dan Kepri Jatnika di Sei Jang Tanjungpinang, Rabu (30/4).

Menurut dia, penyanderaan ini dilakukan mengingat hampir 80 persen APBN bersumber dari pajak. Untuk di wilayah Riau dan Kepri total tunggakan pajak sebanyak Rp1 triliun. Opsi penahanan ini juga dikenakan, karena tingginya tunggakan pajak sekaligus memberi kesadaran wajib pajak untuk segera melunasi tunggakannya.

Mekanisme penyanderaan ini dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan dan dapat diperpanjang selama 6 bulan berikutnya."Artinya, dalam 1 tahun selama wajib pajak belum melunasi utangnya mereka kami tahan," tegasnya. 

Sementara rentang waktu penahanannya tergantung berapa lama wajib pajak terkait bisa melunasi utang yang tertunggak tersebut.Jika dalam satu jam wajib pajak bisa melunasi utang pajaknya, maka akan segera dibebaskan.

Sanksi penyanderaan ini secara berkelanjutan akan terus dilakukan mulai saat ini sampai tidak ada lagi WP yang memiliki utang pajak.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Kantor Pusat Dirjen Pajak, Edi Slamet Irianto menjelaskan bahwa diberlakukannya penyanderaan tersebut semata-mata memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Dirjen Pajak secara kontineu dan serius melakukan upaya penagihan pajak

"Jadi, bagi mereka yang memang memiliki utang pajak dengan jumlah minimum Rp100 juta dan sudah memiliki tetapi tetap tidak melakukan pembayaran maka akan diberlakukan gidzeling, " ujar Edi Slamet Irianto.

Mekanisme penagihannya dimulai dari penyampaian surat teguran serta ditindaklanjuti sampai ke surat paksa. Apabila tidak juga dilunasi, maka dilakukan tindakan penagihan berupa penyitaan aset, lelang barang sitaan, pemblokiran rekening bank, pencegahan ke luar negeri serta penyanderaan.

Dijelaskan, secara nasional, jumlah wajib pajak yang memenuhi kriteria penyanderaan ada 12 orang."Namun sebelum disandera, ada 3 orang sudah membayar, dan 9 disandera. Dari 9 tersebut 5 yang sudah membayar sehingga dibebaskan, dan hari ini (29/4) 1 orang dalam proses pembayaran sehingga akan dibebaskan," ujarnya.

Sementara, 3 orang yang tersisa masing-masing berasal dari Pelembang, Bintan dan Pasar Minggu masih disandera.


Sumber : Antara

Kamis, 28 Januari 2016

Edi Irianto : Dalam Perpajakan Kepentingan Pusat Masih Sangat Kuat

Dikatakan bahwa policy process (proses kebijakan) desentralisasi fiskal yang dilaksanakan di Indonesia masih dodominasi oleh pusat. Hal ini tampak, mulai dari inisiatif gagasan, keterlibatan aktor dan setting kebijakan.
Inisiatif gagasan dapat dijelaskan melalui ise-ide politik yang dibangun berkecenderungan hanya untuk meredam kuatnya tuntutan daerah dan penyebaran kekuasaan. Keterlibatan aktor dalam proses pembuatan kebijakan desentralisasi fiskal didominasi elite pusat, yaitu elite birokrasi pemegang otoritas perpajakan.
“Representasi daerah yang seharusnya menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan tidak dilibatkan, karena daerah diposisikan sebagai pihak yang dimintakan masukan dan hanya mendapatkan sosialisasi atas kebijakan yang telah menjadi keputusan pusat,” ujar Drs. Edi Slamet Irianto, M.Si, Sabtu (23/2) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Kasubdit Perencanaan Pemeriksaan pada Kantor Ditjen Pajak menyampaikan hal itu, saat ujian terbuka program doktor UGM Bidang Ilmu Administrasi Negara. Promovendus mempertahankan desertasi “Desentralisasi Perpajakan Dalam Perspektif Demokratisasi di Indonesia” dengan bertindak selaku promotor Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA dan ko-promotor Prof. Dr. Warsito Utomo serta Prof. Dr. Mardiasmo.
Menurut Edi, dalam hal materi kebijakan, kuatnya kepentingan pusat sangat menonjol bahkan dalam beberapa hal tampak sangat tegas, seperti bagaimana pusat berkeinginan untuk mengemankan sumber-sumber penerimaan negara. Akibatnya, menyebabkan kebijakan desentralisasi fiskal gagal memberikan kewenangan pemajakan yang lebih besar kepada daerah.
Disamping paradigma elite pusat yang masih sentralis, faktor-faktor lain yang berpengaruh adalah belum adanya kepercayaan terhadap kemampuan daerah untuk mengelola kewenangan pemajakan yang lebih besar. “Argumen ini diperkuat fakta, atas tingginya disparitas fiskal, masih besarnya hutang luar negeri dan keyakinan pusat yang dapat menciptakan keadilan dan pemerataan penerimaan antar daerah,” tutur Edi Irianto.
Rendahnya kewenangan pemajakan yang dimiliki daerah sebagai keputusan kebijakan fiskal nasional dinilai dapat memicu perdebatan politik antara pusat-daerah dibidang perpajakan. Perdebatan politik tersebut, dapat berdampak pada disharmoninya relasi perpajakan pusat-daerah.
“Daerah akan terus berjuang untuk mendapatkan kewenangan pemajakan yang dianggap memadai untuk melakukan mobilisasi dana masyarakat menuju kemandirian keuangan daerah. Perlawanan politik yang akan dijadikan strategi oleh daerah adalah dalam bentuk tidak didukungnya secara politik terhadap putusan perpajakan yang telah menjadi keputusan pusat. Daerah juga akan terus mengupayakan pencarian sumber-sumber penerimaan dari masyarakat di daerahnya melalui penerbitan sejumlah peraturan-daerah, meskipun keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pusat,” lanjut Kanwil VII DJP Jawa Barat, 1989-1991 ini.
Dijelaskannya, terjadinya disharmoni relasi perpajakan pusat-daerah (negara) dapat berpengaruh pada relasi negara-rakyat, terutama semakin turunnya tingkat kepercayaan rakyat di bidang perpajakan. Hal ini disebabkan, negara yang seharusnya memposisikan rakyat sebagai mitra politik dalam pengambilan keputusan dibidang perpajakan, justru dimarjinalkan oleh kepentingan negara yang selalu berorientasi pada pencapaian target penerimaan pajak.
Pada situasi tersebut, negara dinilai gagal menyediakan ruang bagi terciptanya mekanisme komunikasi politik antara negara-rakyat dan antar rakyat itu sendiri di bidang perpajakan. Apabila hal ini terus berlangsung, maka tidak menutup kemungkinan rakyat akan menilai tidak ada manfaat membayar pajak.
“Pada gilirannya, rakyat akan mogok untuk membayar pajak. Sehingga demokratisasi perpajakan yang menghendaki tersedianya ruang publik yang memungkinkan munculnya partisipasi publik, mulai dari proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengelolaan pajak dan pengawasan penggunaan uang pajak oleh negara, gagal dihadirkan akibat kondisi internal negara yang masih diwarnai oleh perdebatan politik dalam memperjuangkan keberadaan kewenangan perpajakan di masing-masing pemerintahan,” tandas Edi Irianto. (Humas UGM).

Rabu, 06 Januari 2016

SELEKSI DIRJEN PAJAK - Edi Slamet Irianto

Pajak negara dan demokrasi : konsep dan implementasinya di Indonesia by Edi Slamet Irianto( Book )

1 edition published in 2009 in Indonesian and held by 9 WorldCat member libraries worldwide

Concept and implementation of taxation from political aspects in Indonesia
Politik perpajakan : membangun demokrasi negara by Edi Slamet Irianto( Book )

1 edition published in 2005 in Indonesian and held by 8 WorldCat member libraries worldwide

Political and socioeconomic aspects of taxation policy in Indonesia

Pengantar Politik Pajak - EDI SLAMET IRIANTO

Deskripsi

Buku ini menjelaskan pajak dari perspektif politik yang berarti landasan teoretik dan logika berpikir. Oleh karena itu, pembahasan tidak hanya pada apa itu pajak, namun juga dijelaskan pajak sebagai instrument demokrasi, pajak dalam relasi pusat-daerah dan pajak dalam relasi negara-rakyat. 
 
Testimoni:
 
Buku ini memperkenalkan pembahasan perpajakan dari sudut pandang ilmu politik. Penting dibaca oleh siapa pun yang belajar dan berminat terhadap isu perpajakan dan sekaligus bagi belajar ilmu politik"
PROF. DR. PRATIKNO, M.SOC, SC.
(Rektor Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta)

"Politik dan Pajak sama-sama berdimensi seni. Keduanya dapat diartikan sebagai art of possibility. Dalam politik, sesuatu yang tidak mungkin (calon yang kurang diperhitungkan) dapat menjadi mungkin (pemenang suatu pemilihan). Demikian pula, dalam perpajakan sesuatu yang tidak mungkin kena pajak dapat mungkin dikenakan dan sesuatu yang mungkin dikenakan dapat dibebaskan dari pajak. Semuanya tergantung pada pembenaran kebijakan dan rumusan ketentuan. Teknik pemungutan pajak juga merupakan seni bagaimana menjadikan pembayar pajak merasa perlu dan butuh membayar sebagai sesuatu kebanggaan dan kenikmatan bernegara, pelindung dan pengurus kepentingan politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Karena itu, politik dan pajak perlu disinergikan secara harmonis sehingga terbentuk pola pikir tiada kepentingan politik tanpa membayar pajak"
PROF. DR. GUNADI, AK., M.SC.
(Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia)

"Penerimaan pajak bagaimanapun harus terus menjadi sumber utama pendapatan negara. Artinya, bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan anggaran harus diarahkan pada cipta kondisi kemandirian keuangan dalam negeri. Hadirnya buku ini memberikan pemahaman baru, menurut penulis bahwa pajak berdimensi politik yang tidak sekedar peralihan sumber daya ekonomi dari sektor private (masyarakat) kepada sektor publik (negara) yang bersifat memaksa karena dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang. Pajak sudah menjadi isu politik yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pendekatan politik dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak menjadi penting karena akan berujung akan meningkatnya penerimaan dalam negeri dari sektor pajak. Saran saya, buku ini layak dibaca bagi mereka yang berminat dan serius dibidang ekonomi, terutama skal/perpajakan sehingga berkontribusi bagi upaya penciptaan kemandirian keuangan negara yang diyakini sebagai bentuk dari kedaulatan ekonomi negara"
PROF. DR. HJ. ERNI TRISNAWATY SULE, MS. AKT.
(Ketua Program Doktor Ilmu Manajemen FE Universitas Padjadjaran)